
ANI |
Diperbarui: 22 Des 2022 14:28 IST
London [UK], 22 Desember (ANI): Inisiatif global tentang perubahan iklim juga harus fokus pada penanganan masalah di area seperti Himalaya dan dataran tinggi Tibet. Daerah terpencil ini terlalu sering dikesampingkan selama diskusi tentang perubahan iklim, menurut sebuah laporan oleh Europe Asia Foundation, sebuah forum berbasis di London yang menyediakan ruang bagi para pemangku kepentingan demokrasi utama di kedua benua untuk berkumpul untuk mengartikulasikan dan berbagi ide tentang isu-isu topikal.
Menurut laporan tersebut, “Keluar dari COP27, para pemimpin secara global perlu melihat daerah yang sering diabaikan seperti Himalaya dan dataran tinggi Tibet”.
Sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada perubahan kondisi iklim di kawasan ini meskipun kawasan ini menampung sekitar seperlima dari populasi dunia. Beberapa penelitian berfokus pada area tersebut dibandingkan dengan Arktik dan Antartika.
Hal ini dapat dikaitkan dengan ketinggian wilayah tersebut, kondisi iklim yang keras, dan masalah geopolitik.
“Wilayah ini memanas lebih cepat, hampir dua kali lipat kecepatannya, daripada rata-rata global. Menurut berbagai penelitian yang dilakukan di wilayah ini, gletser di sana telah menyusut dengan kecepatan tinggi dalam 50 tahun terakhir; 82 persen dari dataran tinggi gletser telah menyusut. Selain itu, sekitar 10 persen permafrost di kawasan itu telah terdegradasi,” menurut Europe Asia Foundation.
Alasan utama di balik kondisi iklim yang keras ini, menurut para peneliti, adalah jelaga hitam dari kebakaran yang terjadi di wilayah tersebut. Jelaga yang terbawa angin akhirnya menyerap lebih banyak panas yang mengakibatkan pencairan es lebih cepat.
Perubahan iklim di wilayah tersebut, juga dikenal sebagai Kutub Ketiga, juga dapat memengaruhi musim hujan India karena musim hujan bergantung pada gradien tekanan dan aliran udara serta kelembapan dari laut. Musim hujan sebagai akibat dari perubahan lingkungan yang cepat akan menjadi sangat tidak terduga yang mengakibatkan banjir atau kekeringan.
Menurut Europe Asia Foundation: “Saat kawasan menghangat, es mulai mencair lebih awal dari biasanya di musim panas, sedangkan hujan salju datang belakangan di musim dingin. Jika periode pencairan lebih lama dari periode pembekuan, gletser akan tidak akan dapat membangun kembali dengan kecepatan yang sama, mengakibatkan penyusutan gletser. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya persediaan air, terutama di daerah yang hanya mengandalkan air glasial untuk aktivitas sehari-hari.”
Air tersebut dapat membentuk danau glasial yang nantinya dapat membanjiri wilayah tersebut. (ANI)